"Banyak
barang barang yang dihargai begitu tinggi, tapi nyatanya tak satupun mampu menggenggam tangan kita, ketika langkah
kita mulai keliru.
Dan kemana pun saya pergi, ada saja orang orang yang dengan bernafsu ingin memiliki apa pun
yang baru. Sebuah mobil baru, sebidang tanah baru, rumah baru, mainan terbaru.
Dan kemudian mereka juga bernafsu menceritakannya pada kamu; Coba
lihat apa yang baru aku beli? Atau aku baru
beli ini lho,hadiah dari si ini,kado dari si itu.. dan tidak berwujud benar
adanya.. yayayaa kau tahu bagaimana saya menafsirkan semua itu? Yang sangat didambakan
oleh orang-orang seperti ini pada
dasarnya adalah pengakuan dan kasih sayang namun karena tidak mendapatkannya. Sehingga
mereka mencari ganti dalam bentuk-bentuk yang lain. mereka mengikatkan diri
pada melebihkan lebihkan harta benda dan mengharapkan semacam kepuasan dari
situ. Akan tetapi usaha mereka tidak pernah berhasil. Kita tidak dapat menukar
cinta, kelembutan, keramahan, ketulusan, fakta kehidupan atau rasa persahabatan
dengan harta benda.
Saya tidak tahu seberapa
batasan ‘keberuntungan’ yang ada di kepalamu. Tapi dari hidup yang sudah saya
lalui hingga saat ini, bisa duduk berdua dengan suami yang saya sayangi, dengan
jarak yang tidak jauh hingga
mata kami bisa saling menatap saat kami berbincang, lalu bersedia dengan senang
hati menertawakan ‘ketidak-beruntungan’ kami; adalah sebuah keburuntungan. Waktu
dan juga perhatian yang bersedia dia beri pada saya; adalah harta yang tidak
terkira.
Ada kalanya saya berpikir, apakah mungkin
pikiran bahwa ‘uang tidaklah sepenting itu untuk dicintai’ dalam diri saya
muncul, karena saya tidak lah sekaya mereka yang punya uang melebihi apa yang
mereka perlukan. Apakah mungkin pikiran bahwa ‘harta tidaklah sepenting itu
untuk dicari’ dalam diri saya muncul, karena saya tidaklah ‘seberuntung’ mereka
yang punya segalanya. Atau apakah ini mungkin hanya penyangkalan saya semata?
Bahwa saya memang tidak sehebat itu untuk mampu membeli segala yang saya
butuhkan; apalagi segala yang saya inginkan.
Well, saya memang tidak miskin. Tapi saya tidak lagi
memiliki wajah untuk meminta uang kepada orang tua saya; bila itu hanya untuk
keinginan saya memiliki ponsel terbaru,tas baru atau baju baru karena baju yang
saya pakai ya cuma itu-itu saja, atau sepatu baru—karena saya tidak punya
sepasang sepatu yang cukup untuk saya pakai 7 kali bergantian dalam satu
minggu.
“ Manusia butuh makan, tapi
siapa yang bilang kalau manusia butuh makan makanan yang luar biasa enaknya?” Anggap
lah apa yang sudah saya lalui dalam hidup saya, mampu membuat saya mengamini
kalimat barusan. Sesungguhnya saya kerap kali memikirkan hal di atas
tadi, apakah keyakinan saya bahwa uang tidaklah sepenting itu untuk dicintai hanyalah datang dari penyangkalan
saya akan hidup saya sendiri yang tidak ‘wah’ dan biasa-biasa saja.
Banyak hal yang setengah mati kita kejar dan kita inginkan, walau
pun sebenarnya tidaklah selayak itu untuk diperjuangkan. Banyak hal-hal semu
yang kita tangisi, padahal kenyataannya tidaklah benar-benar bisa membuat kita
menjadi utuh. Begitu banyak cinta dan perhatian yang jatuh pada mereka yang
bahkan tidak bersedia memberi kita pelukan atau sandaran saat kita
memerlukannya. Barang barang yang dihargai begitu tinggi, tapi tak mampu
menggenggam tangan kita, ketika langkah kita mulai keliru. Bahkan, banyak
sekali perihal yang membuat kita mampu merasa lebih besar dari Tuhan kita
sendiri.
Tapi satu hal yang pasti; ketika kamu meninggal orang tidak akan
pernah mengingat sebanyak apa harta yang berhasil kamu kumpulkan, tapi seberapa
banyak waktu juga kasih sayang yang sudah bersedia kamu bagi sepanjang
hidupmu—untuk mereka yang berada di sekelilingmu. Ini mungkin terbaca klise
sekali, tapi saya bukanlah sedang bicara soal hidup miskin jauh lebih baik dari
hidup berkecukupan. Saya sedang mencoba mengatakan bahwa hidup berkecukupan,
bukanlah hidup yang harus diisi dengan limpahan barang yang sebenarnya tidak
begitu berguna untuk mengisi kebahagiaan kita.
Menurutmu,
apa pentingnya bagiku mendengarkan masalah-masalah orang lain? Belum cukupkah beberapa
masalah yang harus kujalani sendiri? Perbuatan
memberilah yang membuatku merasa hidup. Bukan mobil atau rumahku. Bukan pula
apa yang kulihat melalui cermin. Ketika aku memberikan waktuku. Ketika aku
dapat membuat seseorang tersenyum setelah sebelumnya merasa sedih, aku merasa
sesehat yang pernah kurasakan.
Itulah yang coba saya beri kepada orang
lain yang saya kenal atau tidak saya kenal. Saya mungkin tidaklah punya uang
banyak, tapi saya punya kesediaan untuk mendengarkan, saya punya waktu yang
bersedia saya bagi, dan saya masih punya rasa syukur di dalam hati saya atas
segala yang saya miliki. Kurang dan lebihnya.
Inilah hidup yang saya pilih untuk saya
yakini. Dan saya merasa kaya di dalamnya.
Tentu saja saya kerap merasa
kesepian dan terluka sendirian, karena walau pun terlihat seperti pribadi yang
sangat terbuka, saya bukanlah manusia yang pandai menyampaikan kesedihan saya
pada oranglain. Tapi saat saya merasakannya, saya hanya perlu menerima
kesedihan itu. Saya akan menangis, tapi itu tidak akan membuat saya berhenti
tersenyum setelah berhasil melewatinya.
Tidak ada yang mengatakan bahwa manusia
tidak boleh merasa sedih dan kesepian, yang tidak boleh dilakukan adalah
membiarkan sedih dan kesepian tersebut bertahan terlalu lama dalam hatimu. Kamu
hanya perlu memberinya jalan untuk melewati hidupmu, dan berhenti keras kepala
dengan menahannya. Maka mereka pun akan terlewati dengan sendirinya,
Semoga, kalian pun tengah bahagia dengan
hidup yang kalian jalani :)
Salam J