Selasa, 22 Oktober 2013

Aku siapa??

Ketika pertanyaan itu saya tujukan pada diri sendiri, saya pasti terdiam lama. Lalu pikiran saya ke masa lalu. Mencari cari yang mana saya dan seperti apa bentuk saya. Kembali ke masa dimana saya masih berlari riang tanpa busana, mengelilingi penjuru rumah lalu duduk di sembarang tempat. Sedang ibuku mulai kesal mencoba menangkapku. Saya yang begitu bersih. Kalian bisa melihat dari beningnya mata anak balita mana yang tidak mencerminkan sucinya mereka
                Dulu saya belum tau apa itu dosa? Bahkan ketika manusi lain memperlakukan saya dengan salah, saya tidak akan mengharapkan maaf dari mereka. Saya tidak mengenal maaf, tak banyak yang saya ingat dari masa masa itu. Masa ketika saya bahkan tak bisa menyebut “Mbak Nensi” dengan benar, nama kakak kandung saya
                Hingga kemudian datang saya yang sekarang. Yang telah kerap terluka dan melukai. Yang tak lagi dapat berlari kesana kemari tanpa busana. Walau saya kini telah mampu menyebut “Mbak Nensi” dengan benar, tak lantas saya mampu hidup lebih baik dari anak yang dulu bermata bening itu. Anak yang duduk di lantai sembarangan, yang dengan bangga menaiki troli yang di dorong ibunya ketika belanja, yang kerap meminta untuk di buatkan mainan kapal dari kertas oleh ayahnya. Siapa saya yang sekarang, tentunya berawal dari berkulit coklat dan bermata bening besar itu. 23 tahun lalu dia tidak dengan begitu saja lahir di dunia. Dia lagi lagi ada di atas nama cinta ayah dan ibu nya, sungguh manis bukan J
                Kemudian renungan panjang saya jalani. Bahwa begitu banyak yang telah terjadi pada diri saya dan hidup saya. Yang dulu hanya sebuah rengekan kecil sekarang menjadi tangisan semalam suntuk. Yang dulu hanya tau sayang pada ayah ibu dan sodara kandung nya kini mulai mengenal sayang pada sahabat, dan bahkan sayang pada sosok seorang Irfan... Aneh,tapi hidup memang sedemikian aneh untuk di katakan normal
                Isi mimpi pun sekarang mulai berbeda. Saya tentu saja tak perduli pada bunga tidurku dulu. Saya akan tidur dengan kantuk yang nyata dan terjaga di tengah basah kasurku yang terkena ompol. Tapi kini tertidur pun saya harus menunggu kantuk, terjaga pun dapat dengan mudah di ambil kegalauan. Hidup menjadi tak lagi dengan begitu mudah dapat saya lewati. Entah kemana saya yang dulu pergi, entah kemana “kemudahan” yang dulu terpatri di dalam hari. Dan kini, saya dewasa lebih sulit  mencari alasan untuk tertawa. Acap kali pandai membuat senyum palsu. Tapi tetap tidak sabaran pada segala sesuatu yang menyulitkan. Saya yang sekarang, lebih mudah menyerah pada ketidak mampuan. Mana teriakan “aku mau! Aku mau!” yang dulu selalu muncul disetiap kesempatan yang di tawarkan. Manusia dewasa entah mengapa begitu pengecut
                Ya, walau tidak semua. Bagi mereka yang hidup nya selalu baik baik saja. Tapi mana ada manusia yang selalu merasa baik baik saja. Bahkan ketika mereka memiliki segalanya. Saya bahkan mengakui menjadi manusia yang terkadang malas  untuk mengucap syukur. Kita menganggapnya manusiawi, kita memaklumi hal yang nyatanya salah dan menjadikannya bukan lagi sesuatu yang salah. Ya itu lah saya yang sekarang. Penuh kekurangan, penuh penyangkalan
                Saya hanyalah perempuan biasa, yang bahkan tidak suka banyak hal yang orang lain suka. Yang tetap banyak menangis dan meratap. Tetap banyak kecewa dan kembali berharap. Banyak mengingkari dan kembali berjanji. Saya tetap seperti manusia umumnya. Mencoba bangkit dari banyak kegagalan, mencoba percaya setelah dengan nyata di tinggalkan..
                Lalu siapakah saya, Saya bahkan sedang terus mencari jawabannya. Entah di lembar sebelah mana buku hidup saya ini. Atau mungkin sebenarnya kita tau pasti diri kita hanya tak ingin mengungkapkan yang sebenarnya. Karena begitu takut dengan kebenaran. Saya kadang berfikir, bagaimana jika selama 23 tahun ini, saya bahkan belum pernah menjadi diri saya sendiri. Hingga lupa bentuk asli yang sebenarnya. Oleh karena nya menjawab pertanyaan pertanyaan sependek “siapa kamu?” saja saya butuh belembar lembar kertas semacam ini. Dan membiarkan kalian semakin panjang membaca.
                Yang saya tau, Saya adalah perempuan yang begitu mudah untuk menangis ketika melihat atau mendengar sesuatu yang menyedihkan. Yang saya tau, Saya begitu benci teriakan dan kekerasan. Yang saya tau, Saya tidak suka asap rokok juga kebohongan yang di sengaja. Saya tidak suka pengkhianatan, perselingkuhan, dan kawan kawannya. Dan lagi lagi, ada beberapa bagian dalam diri saya mungkin yang mirip dengan kamu. Karena nyatanya kita sama manusia.
                Saya yang sekarang adalah perempuan yang ingin memiliki sesuatu yang dapat dibaca orang lain. Yang ingin menikah dengan seorang pria baik hati dan ingin menjadi seorang ibu yang sehat untuk anaknya kelak. Yang ingin menemukan cinta sejatinya dengan jalan yang biasa saja. Yang tidak pernah berharap menjalani kisah yang ciderella alami pada waktu itu. Tapi tetap ingin menikah dengan gaun cantik serta memiliki pria yang tampan dalam versinya, manis bukan.. :)
                Saya yang sekarang adalah sesuatu yang rapuh walau tak juga patah. Yang sedang mencoba sebisa mungkin berdamai dengan masa lalu nya yang tidak semua bagiannya baik. Yang ingin di kasihi secara tulus dan mengasihi kembali dengan utuh. Yang tak pernah ingin sama sekali berbohong jika saja bisa.
                Saya yang sekarang adalah anak perempuan ke dua ayahku.. Mempunyai kakak perempuan dan seorang ibu yang baik hati. Saya adalah siapa mereka panggil anak, adik, sahabat, dan pacar mungkin. Dan saya adalah perempuan yang mencintai pria yang mau mencintai saya kelak. Saya tak pandai matematika dan benci logaritma. Suka bernyanyi tanpa tau nada, dan masih tetap suka mencela orang lain yang berpakaian tidak sesuai selera saya sendiri.padahal itu sama sekali bukan urusan saya
                Terima kasih Tuhan, karena Kau biarkan saya mempertanyakan pertanyaan ini pada diri saya sendiri. Lalu kemudian saya kesulitan menjawabnya. Saya tau Kau sedang tersenyum membaca jawaban ini :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar